Monday, December 21, 2015

DiLuar Negeri Ponsel Dilarang Untuk Anak Kecil, Di Indonesia Bebas..

Di era ini, smartphone atau ponsel pintar jadi gawai yang populer atau paling banyak dipakai. Fungsi dan fiturnya yang lengkap bahkan menjadikan smartphone layaknya komputer berukuran mini. Menelepon, kirim SMS, bermain games, chatting, browsing internet, terhubung dengan media sosial; berbagai kebutuhan bisa terpenuhi dengan gawai dalam genggaman.

Menurut survei, 67% anak-anak di Indonesia punya telepon genggam dan 12% diantaranya memakai smartphone. Bahkan, akses internet dan penggunaan media sosial lewat telepon genggam oleh anak-anak mencapai angka tertinggi dibanding Jepang, India, Mesir, dan Chili.

Sejenak mari lebih dekat mengamati apa yang terjadi disekitar kita. Ketika anak, adik, atau keponakan kita sudah demikian dekatnya dengan smartphone dan segala kegunaannya;

“Apakah keputusan kita yang mengizinkan mereka memiliki atau menggunakan smartphone memang tepat?”

Keinginan adik, keponakan, atau anak kita untuk punya smartphone seperti teman-temannya adalah hal yang wajar. Tapi bukankah sesuatu yang wajar tidak selalu benar?


“Ma, temen-temenku pada pakai BB (BlackBerry), aku beliin juga dong, Ma…”

“Tante aku gak punya iPad sendiri tau. Teman-temanku semua di sekolah pakai itu buat main LINE Get Rich..”

Saat adik, keponakan, atau anakmu merengek minta dibelikan smartphone lantaran teman-teman sekolah atau sepermainnya sudah punya lebih dulu, hal itu bisa jadi sangat wajar. Anak-anak memang cenderung punya sifat iri atau bahkan cemburu dengan teman-temannya.

Sederhana saja, saat salah satu teman punya mainan baru misalnya, anak akan berusaha meminjam mainan tersebut dan mencobanya. Jika memang suka, dia akan pulang ke rumah dan minta dibelikan mainan yang sama pada orang tuanya.

“Wajar atau tidaknya sikap cemburu pada anak tergantung pada objek yang membuatnya iri. Cemburu dengan baju atau mainan milik teman itu wajar, sedangkan kecemburuan pada fisik seseorang setelah dewasa itu yang tidak wajar,” ungkap Phyllis Katz, PhD, Psikolog perkembangan anak di Miami Beach, Florida.

Di Amerika baru pada usia 12 tahun anak dianggap layak menggenggam smartphone. Tapi usia bukan jadi satu-satunya hal yang jadi patokan.


Hasil polling Harris Interactive menyebutkan bahwa 22% orang tua di Amerika menganggap bahwa 10 tahun adalah usia yang tepat untuk memberikan telepon genggam pada anak. Sementara, lebih dari 43% menganggap usia 11-12 tahun akan lebih baik. Tapi, kemunculan smartphone dengan segala kecanggihannya membuat para orang tua di Amerika tak lagi menjadikan usia sebagai patokan.

“Orang tua harus mempertimbangkan kedewasaan dan kemampuan bertanggung jawab yang dimiliki anak. Keputusan memberikan smartphone tidak bisa didasarkan pada usia saja.”

Sebelum setuju untuk memberikan smartphone pada anak, tanda-tanda pertumbuhan mereka haruslah diperhatikan. Apa dia termasuk anak yang bertanggung jawab? Apakah dia sering kehilangan atau sembarangan meletakkan barang? Apa dia cukup memahami manfaat smartphone dan efek negatif yang mungkin ditimbulkan?

Menurut Lori Evan, MD, dari departemen psikologi New York University, orangtua perlu mempertimbangkan urgensi dari keputusan memberikan smartphone pada anak. Apakah anak memang lebih banyak beraktivitas di luar rumah, misalnya jam sekolah hingga sore hari atau ikut berbagai les tambahan? Apakah orang tua bekerja kantoran sehingga satu-satunya sarana komunikasi lewat smartphone?

Jika orangtua menganggap bahwa keputusan untuk memberikan smartphone adalah perkara sepele, anak-anak justru jadi pihak yang dirugikan. Mengobati kecemburuan yang dirasakan anak atau sekadar agar anak tak ketinggalan jaman jelas tak cukup kuat untuk dijadikan alasan.

Nilai positif dari perkembangan tekonologi tentu ada. Namun di baliknya ada kemungkinan pelecehan seksual sampai membuat mereka dewasa sebelum waktunya. Haruskah kita menutup mata?

Kemajuan teknologi jelas membawa manfaat, begitu pula dengan munculnya smartphone. Membawa smartphone membuat anak-anak bisa lebih mudah dihubungi. Saat mereka di sekolah dan mendadak dipulangkan lebih awal misalnya, mereka bisa dengan mudah mengirim pesan lewat SMS, BBM (BlackBerry Messenger), atau via aplikasi chatting seperti WhatsApp atau LINE.

Tapi di sisi lain adik, kemenakan, dan anak kita masih tetap bocah kecil dengan pertimbangan yang belum sepenuhnya matang. Kebebasan berselancat di internet lewat smartphone membuat mereka bisa mengakses apa saja. Bukan tidak mungkin, mereka akan mengakses konten yang sebenarnya bukan konsumsi mereka, misalnya gambar atau video porno.

Dampak dari kebebasan yang diberikan ke tangan yang salah ini tidaklah main-main. Pada Januari 2011, 2 orang siswa kelas 5 di SDN 13 Pagi Malakasari, Duren Sawit, Jakarta Timur terbukti memperkosa teman sekelasnya sendiri. Penyebabnya diduga lantaran 2 anak ini sering menonton video porno lewat telepon genggamnya.

Smartphone pun jadi sarana bagi anak-anak untuk mengenal jejaring sosial. Berinteraksi dengan orang lain via dunia maya memang tidak dosa, tapi bukankah tidak semua orang di luar sana punya maksud baik pada adik, keponakan, dan anak kita? Tanpa pengawasan mereka bisa jadi melakukan hal-hal yang menyimpang. Bahkan, kemungkinan terburuk mereka bisa jadi mengalami pelecehan atau cyber bullying, hingga jadi sasaran pelaku pedofilia. Tidakkah kita sebagai orang dewasa merasa miris dan prihatin membaca aktivitas Facebook seorang anak kelas 6 SD ? Miris sekali kadang jika melihat kondisi seperti itu.

No comments:

Post a Comment