Di era ini, smartphone atau ponsel pintar jadi gawai yang populer atau paling banyak dipakai. Fungsi dan fiturnya yang lengkap bahkan menjadikan smartphone layaknya komputer berukuran mini. Menelepon, kirim SMS, bermain games, chatting, browsing internet, terhubung dengan media sosial; berbagai kebutuhan bisa terpenuhi dengan gawai dalam genggaman.
Menurut survei, 67% anak-anak di Indonesia punya telepon genggam dan 12% diantaranya memakai smartphone. Bahkan, akses internet dan penggunaan media sosial lewat telepon genggam oleh anak-anak mencapai angka tertinggi dibanding Jepang, India, Mesir, dan Chili.
Sejenak mari lebih dekat mengamati apa yang terjadi disekitar kita. Ketika anak, adik, atau keponakan kita sudah demikian dekatnya dengan smartphone dan segala kegunaannya;
“Apakah keputusan kita yang mengizinkan mereka memiliki atau menggunakan smartphone memang tepat?”
Keinginan adik, keponakan, atau anak kita untuk punya smartphone seperti teman-temannya adalah hal yang wajar. Tapi bukankah sesuatu yang wajar tidak selalu benar?
Menurut survei, 67% anak-anak di Indonesia punya telepon genggam dan 12% diantaranya memakai smartphone. Bahkan, akses internet dan penggunaan media sosial lewat telepon genggam oleh anak-anak mencapai angka tertinggi dibanding Jepang, India, Mesir, dan Chili.
Sejenak mari lebih dekat mengamati apa yang terjadi disekitar kita. Ketika anak, adik, atau keponakan kita sudah demikian dekatnya dengan smartphone dan segala kegunaannya;
“Apakah keputusan kita yang mengizinkan mereka memiliki atau menggunakan smartphone memang tepat?”
Keinginan adik, keponakan, atau anak kita untuk punya smartphone seperti teman-temannya adalah hal yang wajar. Tapi bukankah sesuatu yang wajar tidak selalu benar?